BAB 1
Penjahat Terbesar
Pada tahun 1911, William Procter dan James Gamble, pembuat sabun dan lilin, memperkenalkan produk baru yang sangat revolusioner. Mereka menamainya Crisco.
Bahan utama Crisco adalah—dan masih tetap—minyak biji kapas, namun
minyak biji kapas ini diproses secara khusus agar menjadi padat pada suhu ruang. Proses ini dikembangkan oleh Procter & Gamble bersama ahli kimia Jerman bernama E. C. Kayser. Proses ini disebut hidrogenasi parsial, yang mengubah susunan atom hidrogen dalam molekul lemak. Hasilnya adalah lemak yang sudah diputihkan, dicampur, dan dihilangkan baunya—mirip seperti lemak babi.
Awalnya, P&G memakai lemak buatan ini untuk menggantikan lemak babi dan lemak hewani mahal dalam produksi lilin dan sabun mereka. Tapi karena listrik mulai dipakai luas, kebutuhan akan lilin menurun drastis, dan perusahaan butuh pasar baru. Karena produk ini mirip lemak babi, kenapa tidak dijual sebagai makanan?
Pemasaran dimulai tahun 1912. Sebuah iklan di Home Directory edisi Februari 1912 menekankan bahwa produk ini berasal dari “tumbuhan”:
“Banyak orang tertarik mencari perbandingan yang tepat antara makanan dari tumbuhan dan dari hewan dalam menu sehari-hari. Setiap penelitian penting belakangan ini membuktikan bahwa kalau semua hal dianggap setara, produk dari tumbuhan lebih diinginkan dibandingkan produk dari hewan, dan jelas lebih baik mengganti lemak hewani yang berminyak dengan produk tumbuhan yang lebih ringan.”
Iklan ini menyarankan ibu rumah tangga untuk memakai Crisco untuk menggoreng, memanggang, dan memasak secara umum, serta memuji baunya yang bersih dan segar. “Lebih baik dari mentega untuk memasak,” begitu janjinya. Pembaca diberi tahu bahwa “Crisco sedang tersedia di toko-toko secepat mungkin.”
Langkah selanjutnya dari P&G adalah langkah pemasaran yang sangat cerdas—mereka membuat dan membagikan buku resep yang mempromosikan kegunaan Crisco. The Story of Crisco memuat 250 resep, dari sup lobster hingga kue pound cake, semuanya pakai Crisco.
Pendahuluan buku ini mencampurkan ilmu palsu dengan bujukan halus. Buku ini dianggap sebagai strategi pemasaran yang luar biasa, dengan gaya bahasa yang menyentuh hati ibu rumah tangga kelas menengah yang ingin hidup lebih modern.
Buku ini menggambarkan Crisco sebagai lebih sehat, lebih mudah dicerna, lebih bersih, lebih hemat, lebih maju, dan lebih modern dibandingkan lemak babi. Perempuan yang memakai Crisco digambarkan sebagai istri dan ibu yang baik, rumahnya bebas dari bau masakan yang menyengat, dan—impian setiap ibu—anak-anaknya tumbuh dengan karakter yang baik.
“Ahli rumah tangga” yang bekerja di Procter & Gamble mengajarkan penggunaan Crisco di sekolah memasak dan lewat demo gratis di teater dan tempat umum. Salah satu target utama: siswi SMA yang ikut kelas keterampilan rumah tangga.
MAKANAN — Sehat, Lembut, dan Cantik
Disiapkan dengan Cara yang Cerdas
Tidak ada yang lebih penting bagi seorang ibu rumah tangga selain menyiapkan makanan yang sehat dan enak untuk keluarganya.
Kini, semakin banyak orang sadar bahwa pola makan yang baik bukan hanya bisa mencegah sakit kepala atau gangguan pencernaan, tapi juga bisa membuat tubuh tetap sehat.
Orang-orang juga mulai memperhatikan perbedaan antara lemak hewani dan lemak nabati. Banyak penelitian menunjukkan bahwa lemak dari tumbuhan lebih baik daripada lemak dari hewan, terutama untuk menggantikan minyak atau lemak hewan yang berminyak dan berat.
Kenalan dengan Crisco
Crisco adalah produk baru yang digunakan untuk menggoreng, memanggang, atau memasak sehari-hari.
Crisco 100% berasal dari tumbuhan, bukan dari hewan, dan bukan campuran minyak atau lemak lain. Tidak ada bahan hewani sama sekali di dalamnya.
Karena itu, Crisco sangat cocok untuk menggantikan mentega, lemak babi, atau minyak goreng hewani lainnya.
Bersih dan Murni
Crisco sangat bersih, murni, dan dibuat dengan standar tinggi.
Tidak cepat tengik dan selalu segar.
Dikemas dalam wadah yang rapi dan higienis, bebas dari debu dan bau.
Aromanya Lembut
Crisco punya aroma segar yang enak dari bahan nabati.
Tidak seperti minyak campuran lain yang bisa bikin dapur bau atau makanan jadi beraroma aneh, Crisco justru membuat makanan harum dan menggugah selera.
Coba buktikan sendiri.
Panggang biskuit dengan Crisco, lalu cium aromanya saat masih hangat — Anda akan mencium wangi yang lembut dan nikmat, bukan bau minyak yang menyengat.
Ayo Coba Crisco Hari Ini!
Gunakan untuk semua jenis masakan dan rasakan sendiri bagaimana Crisco membuat masakan jadi lebih sehat, lembut, dan enak.
Crisco — Lebih Baik dari Mentega untuk Memasak
Crisco sekarang sedang mulai tersedia di toko-toko.
Jika toko Anda belum punya, Anda bisa memesannya langsung dengan mengirimkan 25 sen (dalam perangko atau uang tunai), dan kami akan kirimkan satu paket Crisco ke rumah Anda.
THE PROCTER & GAMBLE CO., Cincinnati, Ohio
I.
P&G juga punya ide cemerlang lain: memasarkan Crisco kepada ibu rumah tangga Yahudi sebagai makanan kosher, yaitu makanan yang mirip mentega tapi bisa dipakai saat memasak daging. Karena Crisco memudahkan masakan kosher, orang Yahudi lebih cepat menerima Crisco dan margarin—tiruan lemak babi dan mentega—dibanding kelompok lain, walau akhirnya menimbulkan dampak tak terduga.
Strategi Procter & Gamble sangat jelas: menjelekkan pesaing, tapi dengan cara yang menarik bagi ibu rumah tangga hemat di zaman itu, yang ingin hidup bersih dan modern. †
Crisco bukanlah lemak buatan pertama yang dipasarkan untuk dimakan manusia. Pada tahun 1869, Kaisar Napoleon III dari Prancis memberikan hadiah kepada siapa pun yang bisa menciptakan pengganti mentega yang cocok untuk tentara dan rakyat miskin.
Seorang ahli kimia Prancis bernama Hippolyte Mège-Mouriès menemukan bahan yang ia sebut oleomargarine, yang kemudian dikenal sebagai “margarin.” Bahan utamanya adalah lemak sapi, tapi pada tahun 1871, Henry W. Bradley dari Binghamton, New York, mematenkan proses membuat margarin dari campuran minyak tumbuhan (terutama minyak biji kapas) dan lemak hewan. Karena bahannya lebih murah, bisnis margarin jadi sangat menguntungkan.
Dalam buku Life on the Mississippi tahun 1883, Mark Twain menceritakan percakapan yang ia dengar antara penjual minyak biji kapas dari New Orleans dan pedagang margarin dari Cincinnati.
Orang New Orleans membanggakan bahwa mereka menjual minyak biji kapas yang sudah dihilangkan baunya sebagai minyak zaitun dengan label Eropa. “Kami produksi semuanya di pabrik kami di New Orleans… dan bisnisnya sangat bagus.”
Orang Cincinnati bercerita bahwa pabriknya memproduksi oleomargarin dalam jumlah ribuan ton, dan rasanya tak bisa dibedakan dari mentega. Dia bangga karena merasa akan menguasai pasar.
“Nanti kamu akan lihat, tidak akan ada mentega lagi di hotel-hotel di sekitar Lembah Mississippi dan Ohio, kecuali di kota-kota besar… Dan karena kami bisa jual dengan harga sangat murah, semua orang harus beli… mentega tidak punya peluang—tidak bisa bersaing. Masa kejayaan mentega sudah habis—sekarang margarin yang menang. Bisnis margarin itu sangat besar—kamu tidak bisa bayangkan seberapa besar keuntungan kami.”
Iklan margarin zaman dulu hampir tidak memakai kata-kata dan tidak membuat klaim apa pun; mereka hanya pakai gambar bayi sehat dan gadis cantik untuk menyiratkan bahwa margarin itu baik. Yang bisa mereka sampaikan hanyalah: margarin setara dengan harga lebih murah. Tapi orang-orang tetap lebih suka mentega—karena mereka bisa membuatnya sendiri di dapur. Konsumsi mentega di tahun 1900 sekitar 8 kg per orang per tahun, atau sekitar 5 sendok teh per hari, dan mungkin jauh lebih banyak di keluarga petani.
Orang asing yang datang ke Amerika, seperti de Tocqueville, mencatat bahwa orang Amerika suka sekali makan mentega, mereka menaruh mentega di hampir semua makanan—sup, saus, daging, sayur, bubur, dan puding.
Buku masak zaman dulu bahkan punya resep saus salad pakai mentega cair. Orang biasa memasak dengan lemak babi, lemak daging asap, dan lemak sapi karena itu yang mereka punya.
Pada awal 1900-an, masalah kesehatan utama pada anak-anak adalah penyakit menular, rakhitis, anemia, dan masalah pertumbuhan—semua disebabkan oleh gizi buruk. Berdasarkan penelitian tahun 1920–1930-an, Asosiasi Medis Inggris menyarankan semua orang Inggris untuk mengonsumsi 80% lebih banyak susu, 55% lebih banyak telur, 40% lebih banyak mentega, dan 30% lebih banyak daging.
Pemerintah Inggris pun membagikan susu gratis di sekolah—susu full-fat—dan mendorong orang untuk makan lebih banyak makanan hewani, terutama telur.
Hasilnya, angka kematian anak akibat difteri, campak, demam scarlet, dan batuk rejan menurun drastis—bahkan sebelum adanya antibiotik dan vaksin. Penyakit seperti rakhitis pun jadi jarang ditemukan. Rekomendasi ini terus berlanjut hingga Perang Dunia II, di mana semua anak di Inggris mendapat jatah telur, minyak ikan cod, dan jus jeruk. Selama masa-masa ini, harapan hidup di Inggris naik dari 60 tahun pada 1930 menjadi 70 tahun pada 1960.
PADA TAHUN-TAHUN BERIKUTNYA, sejumlah studi populasi menunjukkan bahwa model hewan—terutama yang berasal dari hewan vegetarian seperti kelinci—bukan pendekatan yang tepat untuk mempelajari penyakit jantung pada manusia pemakan segala.
Sejak tahun 1936, ahli patologi K. E. Lande dan W. M. Sperry dari Universitas Harvard memeriksa kadar kolesterol dan tingkat penyumbatan arteri koroner pada orang-orang yang meninggal mendadak.
Mereka tidak menemukan hubungan apa pun; ada orang dengan kolesterol rendah tetapi penyumbatan tinggi, dan sebaliknya, ada yang kolesterol tinggi tetapi penyumbatan rendah.²⁹
Sebuah laporan yang sangat terkenal tahun 1955 tentang plak di arteri para tentara Amerika yang tewas dalam Perang Korea menunjukkan tingkat aterosklerosis yang tinggi.
Namun, laporan lain—yang tidak sampai ke halaman depan New York Times—menunjukkan bahwa orang Jepang memiliki plak pembuluh darah hampir sebanyak orang Amerika—65% dibanding 75%—padahal pola makan orang Jepang saat itu lebih rendah produk hewani dan lemak.³⁰
Studi tahun 1957 tentang masyarakat Bantu yang sebagian besar vegetarian juga menemukan tingkat ateroma (penumpukan plak) yang sama dengan kelompok lain di Afrika Selatan yang lebih banyak makan daging.³¹
Laporan tahun 1958 mencatat bahwa orang kulit hitam Jamaika menunjukkan tingkat aterosklerosis yang sebanding dengan orang Amerika, meskipun mereka jarang terkena penyakit jantung.³²
Laporan tahun 1960 menyatakan bahwa tingkat keparahan lesi aterosklerotik di Jepang mendekati yang ada di Amerika Serikat.³³
Proyek Internasional Aterosklerosis tahun 1968, yang memeriksa lebih dari 22.000 jenazah di 14 negara untuk melihat plak di arteri, menunjukkan tingkat ateroma yang sama di seluruh dunia—baik di populasi yang banyak makan makanan hewani berlemak, maupun yang sebagian besar vegetarian, serta baik di masyarakat yang sering menderita penyakit jantung maupun yang hampir tidak mengalaminya sama sekali.³⁴
Studi-studi ini menunjukkan bahwa penebalan dinding arteri mungkin adalah proses alami yang tak bisa dihindari.
Teori diet-jantung dan hipotesis lipid yang dikemukakan oleh para peneliti Amerika tidak terbukti dalam studi populasi tersebut, dan juga tidak menjelaskan kecenderungan pembekuan darah fatal yang terjadi pada serangan jantung.
Namun, hipotesis lipid sudah terlanjur mendapat cukup dukungan sehingga terus berlanjut, meski banyak studi ilmiah yang bertentangan mulai bermunculan.
Tahun 1957, Dr. Norman Jolliffe, direktur Biro Gizi dari Dinas Kesehatan New York, memulai Anti-Coronary Club, yaitu sekelompok pebisnis berusia 40–59 tahun yang diberi diet khusus bernama Prudent Diet.
Anggota klub ini menggunakan minyak jagung dan margarin sebagai pengganti mentega, sereal dingin sebagai pengganti telur, dan ayam serta ikan menggantikan daging sapi.
Kelompok kontrol (pembanding) terdiri dari pria dengan usia sama yang makan telur untuk sarapan dan daging tiga kali sehari.
Jolliffe, yang merupakan penderita diabetes dan duduk di kursi roda, yakin bahwa Prudent Diet akan menyelamatkan nyawa—termasuk nyawanya sendiri.
Pada tahun yang sama, 1957, industri makanan mulai kampanye iklan besar-besaran yang mengklaim manfaat kesehatan dari produk rendah lemak atau berbasis minyak nabati.
Salah satu iklan berbunyi: “Wheaties bisa membantu Anda hidup lebih lama.”
Wesson menyarankan minyak gorengnya “demi kesehatan jantung Anda,” dan sebuah iklan di Journal of the American Medical Association menyebut minyak Wesson sebagai “penurun kolesterol.”
Iklan Mazola meyakinkan publik bahwa “ilmu pengetahuan menemukan bahwa minyak jagung penting untuk kesehatan Anda.”
Iklan di jurnal medis menyarankan Fleischmann’s Unsalted Margarine untuk pasien tekanan darah tinggi.
Iklan seperti ini terus berlangsung sepanjang tahun 1960-an dan 1970-an.
Iklan tahun 1970 untuk margarin Fleischmann’s Golden Corn Oil di Journal of the American Medical Association menampilkan gambar jantung yang dibungkus kertas margarin Fleischmann, dengan judul “Makanlah sepuas hatimu.”
Teks iklannya santai dan bergaya pseudosains, mirip The Story of Crisco:
“Menurut pendapat medis terbaru, diet rendah lemak jenuh dan rendah kolesterol masih menjadi salah satu cara terbaik untuk menjaga jantung. Diet seperti itu pasti memasukkan margarin dari minyak nabati—seperti Fleischmann’s.”
Industri minyak nabati segera menemukan teknik iklan yang sangat efektif: libatkan para dokter dengan jas putih sebagai bintang iklannya.
Dr. Frederick Stare, kepala Departemen Nutrisi Universitas Harvard, adalah yang pertama, mempromosikan minyak nabati dalam kolomnya di surat kabar.
Kemudian, Dr. William Castelli, direktur Studi Framingham, memberikan dukungan terhadap Puritan Oil milik Procter & Gamble; Dr. Stare juga mempromosikan produk yang sama.
Dr. Antonio Gotto Jr., mantan presiden American Heart Association, mengirim surat dukungan untuk Puritan Oil kepada para dokter—surat itu dicetak di atas kop resmi De Bakey Heart Center dari Baylor College of Medicine.³⁵
Yang ironis dari surat Gotto adalah bahwa Dr. De Bakey, ahli bedah jantung terkenal itu, ikut menulis studi tahun 1964 yang melibatkan 1.700 pasien—yang juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan jelas antara kadar kolesterol darah dan tingkat penyumbatan arteri koroner.³⁶
Dengan kata lain, orang yang memiliki kolesterol rendah tetap bisa mengalami penyumbatan arteri, sama seperti mereka yang kolesterolnya tinggi.
Namun, studi seperti milik De Bakey justru disimpan di ruang bawah tanah perpustakaan universitas, sementara kampanye minyak nabati makin berani dan percaya diri.
AMERICAN MEDICAL ASSOCIATION (AMA) pada awalnya menentang komersialisasi teori diet-jantung dan memperingatkan bahwa “kegilaan anti-lemak dan anti-kolesterol bukan hanya konyol dan sia-sia… tapi juga membawa risiko.”³⁷
American Heart Association (AHA), sebaliknya, sangat mendukung.
Buku kecil panduan kesehatan Your Heart Has Nine Lives oleh Jeremiah Stamler, yang disponsori oleh produsen minyak jagung Mazola dan margarin Mazola, muncul di tahun 1960-an dan mendorong masyarakat mengganti lemak hewani seperti mentega dengan minyak nabati yang disebut “tidak menyumbat arteri”.
Stamler tidak percaya bahwa kurangnya bukti harus menghentikan orang Amerika untuk mengubah pola makannya. Ia menyatakan bahwa bukti yang ada “cukup kuat untuk mendorong perubahan kebiasaan bahkan sebelum ada bukti akhir yang benar-benar meyakinkan... Bukti pasti bahwa pria paruh baya yang menurunkan kolesterol darahnya akan jauh lebih sedikit mengalami serangan jantung masih menunggu hasil studi diet yang sedang berjalan.”
Versi Prudent Diet miliknya menyarankan mengganti produk susu penuh lemak seperti krim dan keju utuh dengan susu skim dan keju rendah lemak, mengurangi konsumsi telur, dan memotong lemak dari daging merah.
Menurutnya, penyakit jantung adalah penyakit negara kaya, menyerang orang kaya yang makan makanan “kaya”, termasuk lemak keras seperti mentega.³⁸
Hasil dari eksperimen Anti-Coronary Club Dr. Jolliffe diterbitkan tahun 1966 dalam Journal of the American Medical Association.³⁹
Mereka yang mengikuti Prudent Diet (mengonsumsi minyak jagung, margarin, ikan, ayam, dan sereal dingin) memiliki kadar kolesterol darah rata-rata 220 mg/dl, dibandingkan 250 mg/dl pada kelompok kontrol yang makan daging dan kentang. Tekanan darah menurun dan para pengikut diet juga mengalami penurunan berat badan.
Namun, para penulis studi harus mencatat bahwa terjadi 26 kematian dalam kelompok Prudent Diet, termasuk 8 karena penyakit jantung, dibandingkan hanya 6 kematian—tanpa satupun karena penyakit jantung—di kelompok yang makan daging tiga kali sehari.
Dr. Jolliffe sendiri sudah meninggal pada saat itu, wafat tahun 1961 karena trombosis pembuluh darah, meskipun media menyebut penyebabnya komplikasi diabetes.
“Bukti kuat” yang diyakini Stamler akan membenarkan perubahan besar dalam pola makan masyarakat Amerika belum juga muncul.
Menurut para pendukung teori diet-jantung dan hipotesis lipid, jumlah peserta Anti-Coronary Club terlalu kecil untuk memberikan hasil yang berarti.
Dr. Irving Page mendorong adanya studi nasional tentang diet-jantung yang melibatkan satu juta pria, untuk membandingkan hasil diet Prudent secara besar-besaran dengan diet tinggi daging dan lemak.
Dengan sorotan media besar, National Heart, Lung, and Blood Institute mengorganisasi penyimpanan makanan di enam kota besar, di mana peserta Prudent Diet bisa mengambil donat kaya lemak tak jenuh dan makanan olahan gratis lainnya.
Namun, studi percontohan dengan dua ribu pria menghasilkan jumlah kematian yang sama di kedua kelompok.
Laporan singkat dalam Circulation, Maret 1968, menyatakan bahwa studi ini adalah tonggak dalam “eksperimen lingkungan skala massal” yang akan “berdampak besar terhadap industri makanan dan pandangan publik terhadap pola makan mereka.”⁴⁰
Tetapi studi satu juta orang tersebut akhirnya dibatalkan diam-diam “karena alasan biaya.”
Ketua tim, Dr. Irving Page, meninggal karena serangan jantung.
**
WALAU AHA SUDAH BERKOMITMEN pada hipotesis lipid dan teori tak terbukti bahwa minyak nabati cair melindungi dari penyakit jantung, kekhawatiran terhadap minyak nabati terhidrogenasi sebagian (yang dikeraskan secara industri) cukup serius sehingga AHA memasukkan pernyataan berikut dalam dokumen resmi mereka tahun 1968:
“Proses hidrogenasi parsial pada lemak tak jenuh ganda menghasilkan bentuk trans yang kurang efektif dibanding bentuk cis, cis (alami) dalam menurunkan kolesterol. Harus dicatat bahwa banyak shortening dan margarin yang tersedia saat ini adalah hasil hidrogenasi parsial dan mungkin hanya mengandung sedikit lemak tak jenuh ganda dalam bentuk alami cis, cis.”
AHA mencetak 150.000 salinan dokumen ini—tetapi tidak pernah mendistribusikannya.
Industri shortening menolak keras, dan peneliti dari Procter & Gamble bernama Fred Mattson berhasil meyakinkan direktur medis AHA, Campbell Moses, untuk mencabut pernyataan tersebut.⁴¹
Rekomendasi AHA untuk publik akhirnya hanya memuat tiga poin utama:
batasi kalori,
ganti lemak jenuh seperti mentega dengan minyak cair,
dan turunkan kolesterol darah lewat diet.
Organisasi lain kemudian mengikuti jejak AHA, mendorong penggantian lemak hewani dengan minyak nabati.
Awal 1970-an, National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI), American Medical Association (AMA), American Dietetic Association (ADA), dan National Academy of Science (NAS) semuanya menyetujui hipotesis lipid dan menyarankan agar orang Amerika yang “berisiko” menghindari lemak hewani.
Sejak penelitian awal Kritchevsky pada kelinci, banyak percobaan lain menunjukkan bahwa kolesterol darah bisa diturunkan dengan meningkatkan konsumsi minyak nabati cair tak jenuh ganda.
Namun, belum ada bukti kuat bahwa menurunkan kolesterol darah bisa benar-benar mencegah penyakit jantung koroner (CHD).
Meski begitu, AHA tetap mendorong produk makanan “yang dimodifikasi dan biasa” untuk mendukung perubahan pola makan menuju minyak nabati dan menjauhi lemak tradisional.
AHA menyatakan bahwa makanan tersebut harus tersedia dengan harga terjangkau, mudah dikenali lewat label yang sesuai, dan semua hambatan hukum atau regulasi yang ada harus dihapus.⁴²
Orang yang membantu menghapus hambatan hukum tersebut adalah Peter Barton Hutt, pengacara makanan dari firma hukum ternama Covington and Burling di Washington, DC.
Hutt pernah berkata, “Hukum pangan adalah bidang hukum paling menyenangkan yang bisa Anda masuki.”⁴³
Setelah mewakili industri minyak makan, ia sementara keluar dari firma dan menjadi penasihat hukum utama FDA tahun 1971.
Hambatan yang dimaksud AHA adalah Undang-Undang Pangan, Obat, dan Kosmetik tahun 1938, yang menyatakan bahwa:
“Beberapa makanan tradisional sudah diketahui semua orang, seperti roti, susu, dan keju. Ketika konsumen membeli makanan ini, mereka seharusnya mendapatkan makanan yang sesuai dengan harapan... [dan] jika suatu makanan menyerupai makanan yang telah memiliki standar tetapi tidak memenuhi standar itu, maka makanan tersebut harus diberi label sebagai ‘tiruan’.”
UU 1938 ini dibuat sebagian karena kekhawatiran konsumen terhadap pemalsuan makanan sehari-hari.
Yang paling sering dipalsukan adalah mentega dan minyak zaitun.
Sebagai penasihat hukum FDA, Hutt membantu lembaga tersebut melewati berbagai tantangan hukum dan legislatif untuk mengeluarkan Kebijakan “Imitasi” Baru tahun 1973.
Kebijakan baru ini bertujuan menyesuaikan dengan “kemajuan teknologi pangan” dan memberi “kelonggaran kepada produsen dari dilema antara harus mematuhi standar lama atau memberi label produk mereka sebagai ‘tiruan’... [karena] produk semacam itu belum tentu lebih buruk dari makanan tradisional yang digantikan.”⁴⁴
Hutt menganggap kata “tiruan” terlalu menyederhanakan, tidak akurat, dan “berpotensi menyesatkan konsumen.”
Regulasi baru mendefinisikan “kualitas rendah” hanya jika kandungan nutrisi pentingnya berkurang lebih dari dua persen dari Angka Kecukupan Gizi (RDA) AS.
Artinya, sour cream tiruan yang dibuat dari minyak nabati dan pengental seperti guar gum dan carrageenan tidak perlu lagi diberi label “tiruan,” selama kadar nutrisi utama disesuaikan dengan penambahan vitamin dan mineral buatan.
Krimer kopi, telur instan, keju olahan, dan whipped cream palsu tidak lagi disebut tiruan—semuanya bisa dijual sebagai makanan “asli” yang rendah kolesterol dan kaya asam lemak tak jenuh ganda.
Regulasi ini diterapkan tanpa persetujuan kongres, melanjutkan tren yang dimulai di era Nixon, yaitu menggunakan FDA untuk mempromosikan agenda sosial tertentu melalui kebijakan pangan.
Kebijakan ini memperkuat pengaruh kelompok kepentingan khusus seperti industri minyak nabati, dan melemahkan partisipasi publik dalam proses regulasi.
Dengan “kemajuan teknologi,” FDA membuka era makanan palsu—produk tiruan yang praktis, hambar, dan sangat menguntungkan.
SAAT PEMERINTAH AS TIDAK MELANJUTKAN studi diet-jantung sejuta orang “karena alasan biaya,” banyak pendanaan justru disalurkan melalui National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI) untuk studi lain.
Studi-studi ini menjadi dasar ilmiah dan media untuk mempromosikan teori diet-jantung dan hipotesis lipid.
Yang pertama adalah Framingham Study, yang berjalan selama lebih dari 40 tahun. Studi ini menemukan hampir tidak ada perbedaan kejadian penyakit jantung koroner (CHD) pada orang dengan kadar kolesterol antara 205 mg/dL hingga 294 mg/dL—rentang yang mencakup mayoritas populasi AS. Bahkan bagi mereka yang kolesterolnya sangat tinggi—hampir 1200 mg/dL—perbedaannya terhadap kejadian CHD sangat kecil.⁵⁷
Namun hal ini tidak menghentikan Dr. William Kannel, direktur Framingham Study tahun 1987, untuk membuat pernyataan besar.
“Total kolesterol plasma,” katanya, “adalah indikator kuat untuk kematian akibat CHD.”⁵⁸
Baru lebih dari satu dekade kemudian, hasil sebenarnya dari Framingham diterbitkan—secara sepi-sepi—dalam jurnal Archives of Internal Medicine, sebuah jurnal yang kurang dikenal.
Dr. William Castelli, pengganti Kannel, mengakui:
“Di Framingham, Massachusetts, semakin banyak orang makan lemak jenuh, kolesterol, dan kalori, kadar kolesterol darah mereka justru lebih rendah… Kami menemukan bahwa orang yang makan kolesterol terbanyak, lemak jenuh terbanyak, dan kalori terbanyak justru memiliki berat badan paling ringan dan paling aktif secara fisik.”⁵⁹
Dengan kata lain, mereka yang makan mentega dan lemak hewani memiliki risiko penyakit jantung paling rendah: kolesterol rendah, berat badan normal, dan gaya hidup aktif.
Studi besar NHLBI berikutnya, Multiple Risk Factor Intervention Trial (MRFIT), juga meneliti hubungan kolesterol darah dan CHD pada 362.000 pria.
Diterbitkan tahun 1982, studi ini menunjukkan angka kematian tahunan akibat CHD bervariasi dari kurang dari 1 per 1.000 pada kolesterol di bawah 140 mg/dL, hingga sekitar 2 per 1.000 pada kolesterol di atas 300 mg/dL—perbedaan yang sangat kecil.
Dr. John LaRosa dari AHA mengklaim bahwa grafik CHD mulai “naik tajam” setelah angka 200 mg/dL, padahal grafik itu sebenarnya hanyalah garis landai biasa yang tidak bisa menunjukkan adanya risiko signifikan.
Temuan penting lain—yang tidak dilaporkan media—adalah fakta mengejutkan bahwa kematian akibat semua penyebab (kanker, penyakit jantung, kecelakaan, infeksi, gagal ginjal, dll.) justru lebih tinggi pada pria dengan kolesterol di bawah 160 mg/dL.⁶⁰
Mengingat bahwa institusi medis mendukung margarin dan minyak nabati dibanding makanan hewani, mengejutkan bahwa hanya ada segelintir studi yang benar-benar menunjukkan kolesterol makanan “berperan besar dalam menentukan kadar kolesterol darah.”
Salah satu yang sering dikutip adalah studi terhadap 70 narapidana pria oleh Fred Mattson⁶¹—orang yang sama dari Procter & Gamble yang sebelumnya menekan AHA agar menghapus referensi tentang lemak terhidrogenasi dari pernyataan diet-jantungnya.
Studi ini didanai sebagian oleh P&G dan memiliki berbagai kelemahan: pemilihan subjek tidak acak; subjek dengan kolesterol paling tinggi dan paling rendah dihapus dari analisis; 12 orang keluar dari studi; dan manipulasi statistik sangat buruk.
Masalah terbesar adalah bentuk kolesterol yang diberikan: berupa bubuk sintetis dalam diet cair, bukan dari makanan asli.
Mattson bahkan tidak mempertimbangkan bahwa formula cair bisa memengaruhi kolesterol secara berbeda dari makanan utuh—padahal studi lain menunjukkan hal itu.
Masalah utama dalam diet cair adalah kolesterol yang sudah teroksidasi karena proses pengeringan suhu tinggi. Kolesterol teroksidasi inilah yang tampaknya memicu pembentukan plak.⁶²
Kolesterol teroksidasi itulah yang digunakan Kritchevsky dan lainnya dalam percobaan kelinci vegetarian mereka.
NHLBI beralasan bahwa studi diet berbasis makanan utuh terlalu mahal dan sulit dilakukan, namun mereka tetap mendanai studi besar Lipid Research Clinics Coronary Primary Prevention Trial (LRC-CPPT), di mana semua peserta diberi diet rendah kolesterol dan lemak jenuh.
Peserta dibagi dua: satu kelompok diberi obat penurun kolesterol, dan yang lain diberi plasebo—tapi keduanya tetap menjalani diet rendah lemak jenuh.
Dr. Fred Mattson kembali berperan besar dalam perancangan dan pelaksanaan studi ini.
Yang menarik, sebagian besar dari anggaran $150 juta digunakan untuk melatih peserta diet memilih makanan "ramah jantung"—margarin, pengganti telur, keju olahan, dan makanan panggang dari shortening nabati.
Karena kedua kelompok mendapat pelatihan diet yang sama, studi ini tidak bisa menunjukkan hubungan antara diet dan penyakit jantung.
Namun ketika hasilnya dirilis, media dan jurnal medis menyambutnya seolah menjadi “bukti akhir” bahwa lemak hewani menyebabkan penyakit jantung.
Yang jarang disebut: kelompok yang mendapat obat penurun kolesterol mengalami peningkatan kematian akibat kanker, stroke, kekerasan, dan bunuh diri.⁶³
Peneliti LRC mengklaim bahwa kelompok yang diberi obat mengalami penurunan CHD sebesar 17% dan rata-rata penurunan kolesterol sebesar 8,5%.
Direktur studi LRC, Basil Rifkind, menyimpulkan:
“Untuk setiap penurunan 1% kolesterol, kita bisa harapkan penurunan 2% kejadian CHD.”
Pernyataan ini disebarluaskan, meski tidak sesuai dengan data asli.
Ketika tim lipid Universitas Maryland menganalisis ulang data LRC, mereka menemukan tidak ada perbedaan kejadian CHD antara kelompok yang diberi obat dan yang diberi plasebo.⁶⁴
Ironisnya, tiga tahun kemudian, Framingham Study menerbitkan data lanjutan:
Untuk setiap penurunan 1 mg/dL kolesterol, terjadi peningkatan 11% kematian total dan akibat penyakit jantung.
Artinya: semakin rendah kolesterol, semakin tinggi risiko kematian.⁶⁵
Banyak ahli statistik dan klinisi dalam Lipid Research Clinics Conference tahun 1984 mengkritik cara perhitungan dan pelaporan hasil studi LRC.
Konferensi ini berjalan buruk bagi NHLBI karena penentang hipotesis lipid lebih banyak dari pendukungnya.
Para penentang kembali diundang bicara dalam National Cholesterol Consensus Conference yang disponsori NHLBI pada tahun yang sama, tetapi pendapat mereka tidak dimasukkan dalam laporan akhir, karena laporan sudah ditulis sebelum konferensi dimulai.
Peneliti Universitas Maryland, Dr. Beverly Teter, secara tidak sengaja menemukan laporan “konsensus” itu sudah jadi, hanya tinggal diisi angka.
Kritchevsky mewakili kubu pro-lipid dengan presentasi 5 menit penuh lelucon.
Edward Ahrens, pelopor studi lemak makanan, mengkritik keras “konsensus” tersebut, namun panitia berkata: “Kalau Anda mau kesimpulan berbeda, Anda buat konferensi sendiri dan biayai sendiri.”
Laporan akhir konferensi 1984 tidak menyebutkan bukti yang bertentangan dengan teori diet-jantung.
Nama para penentang dicantumkan sebagai pembicara, tanpa isi pernyataan mereka.
Salah satu angka yang diisi adalah 200.
Dokumen itu menetapkan bahwa siapa pun dengan kolesterol di atas 200 mg/dL dianggap “berisiko” dan harus menjalani skrining massal.
Padahal sebelumnya para pendukung teori lipid menyarankan ambang batas 240.
Dengan ambang 200, sebagian besar orang dewasa di AS resmi masuk kategori risiko.
Laporan ini mendorong semua orang untuk menghindari lemak jenuh dan kolesterol, dan mengganti mentega dengan margarin.
Konferensi ini juga menjadi peluncuran National Cholesterol Education Program (NCEP), yang bertujuan mengubah pandangan dokter.
Survei NHLBI menunjukkan bahwa publik sudah mengikuti teori diet-jantung dan membeli makanan rendah kolesterol, namun para dokter masih skeptis.
Semua dokter di AS dikirimi “Paket Dokter” berisi edukasi soal skrining kolesterol, keuntungan obat penurun kolesterol, dan keunggulan Prudent Diet—termasuk saran mengganti mentega dengan margarin.
Para dokter kini menjadi agen penjualan industri minyak nabati.
**
PADA NOVEMBER 1986, Journal of the American Medical Association menerbitkan artikel tentang studi LRC, termasuk “Cholesterol and Coronary Heart Disease: A New Era” oleh Dr. Scott Grundy, anggota lama AHA.⁶⁶
Artikel ini mencampurkan euforia dengan kegelisahan: euforia karena kampanye anti-kolesterol terus maju, kegelisahan karena bukti nyata masih sulit ditemukan.
Ia menulis: “Konferensi konsensus baru-baru ini menyiratkan bahwa kadar antara 200–240... membawa sedikit peningkatan risiko, dan memang begitu.”
Pernyataan ini bertentangan dengan klaimnya sendiri sebelumnya bahwa hubungan sebab-akibat sangat kuat.
Grundy menyerukan “langkah sederhana mengukur kolesterol semua orang dewasa… mereka yang kolesterolnya tinggi bisa masuk sistem perawatan medis… jumlah pasien akan sangat besar [cetak miring asli].”
Siapa yang diuntungkan dari “langkah sederhana” ini?
Rumah sakit, laboratorium, perusahaan obat, industri minyak nabati, produsen margarin, pengolah makanan, dan tentu saja dokter.
Grundy menulis, “Banyak dokter akan melihat keuntungan penggunaan obat penurun kolesterol,” walau ia mengakui “rasio manfaat/risiko yang positif sulit dibuktikan.”
Tiga dekade kemudian, penjualan obat ini mencapai $14 miliar per tahun—meskipun tidak pernah terbukti aman dan efektif.
Dokter kini menciptakan pasien dari orang sehat.
Grundy juga tidak konsisten soal manfaat diet.
“Apakah diet punya efek jangka panjang terhadap kolesterol masih belum terbukti,” katanya, namun “aktivis kesehatan masyarakat bisa mendorong industri makanan menyediakan makanan rendah kolesterol, lemak jenuh, dan kalori.”
Artinya: makanan yang hampir pasti mengandung minyak nabati cair atau terhidrogenasi (trans fat).
Grundy tahu trans fat bermasalah—ia tahu karena Mary Enig, PhD, pernah mengirimkan data lengkap padanya, yang ia akui sebagai “kontribusi penting dalam debat ini.”⁶⁷
Tak lama setelah itu, Surgeon General’s Report on Nutrition and Health menekankan pentingnya menyediakan makanan rendah lemak.
Proyek LEAN (Low-Fat Eating for America Now) disponsori oleh Kaiser Family Foundation dan berbagai lembaga besar seperti AHA, ADA, AMA, USDA, NCI, CDC, dan NHLBI.
Kampanye ini bertujuan “secara agresif mempromosikan makanan rendah lemak jenuh dan kolesterol untuk menurunkan risiko penyakit jantung dan kanker.”⁶⁸
Sementara itu, studi yang bertentangan dengan teori diet-jantung terus bermunculan.
Tahun 1988, ahli statistik Dr. Russell Smith, bersama Dr. Edward R. Pinckney, menerbitkan ringkasan semua studi diet dan kolesterol hingga saat itu.
Buku mereka, Diet, Blood Cholesterol and Coronary Heart Disease: A Critical Review of the Literature, mencatat banyak studi yang diabaikan media—kebanyakan menyangkal atau tidak mendukung dogma kolesterol.
Kesimpulan Smith:
“Cukup lihat data konsumsi makanan untuk tahu bahwa hipotesis diet-CHD sepenuhnya salah.
Studi ini, dikombinasikan dengan pengetahuan umum, menunjukkan bahwa makanan yang dituduh AHA/NHLBI sebagai penyebab kolesterol tinggi—lemak hewani—sebenarnya menurun (atau kolesterol tetap stabil) selama epidemi CHD.
Satu-satunya tren yang paralel dengan peningkatan kematian CHD adalah konsumsi minyak nabati.
Menyalahkan lemak hewani atas epidemi ini… sama sekali tidak logis dan bertentangan dengan prinsip ilmiah paling dasar.”⁶⁹
TENTANG PENYAJIAN TEORI KOLESTEROL DI MEDIA, Russell Smith sangat tajam dalam kritiknya:
“Ratusan, bahkan mungkin ribuan artikel tentang diet dan penyakit jantung telah diterbitkan dalam 15 tahun terakhir di surat kabar dan majalah. Hampir tak satu pun dari artikel-artikel ini yang mencerminkan fakta ilmiah yang sebenarnya, dan banyak yang justru memberi masyarakat informasi yang benar-benar salah atau sangat menyesatkan.”⁷⁰
Contohnya, media tidak melaporkan sebuah studi besar di Inggris yang berlangsung beberapa tahun dan melibatkan ribuan pria. Studi ini dipublikasikan pada tahun 1983. Setengah dari peserta diminta mengurangi lemak jenuh dan kolesterol, berhenti merokok, dan meningkatkan konsumsi minyak tak jenuh seperti margarin dan minyak nabati. Setelah satu tahun, kelompok yang menjalani “diet sehat” justru mengalami dua kali lipat kematian dibanding kelompok yang tetap makan makanan “tidak sehat”—meskipun kelompok “tidak sehat” ini tetap merokok! Namun, penulis studi mengabaikan hasil ini dan tetap menyimpulkan secara politis:
“Implikasi bagi kebijakan kesehatan masyarakat di Inggris adalah bahwa program pencegahan seperti yang kami uji dalam studi ini mungkin efektif.”⁷¹
Banyak survei tentang populasi tradisional juga memberikan hasil yang memalukan bagi para pendukung teori diet-jantung.
Misalnya, studi yang membandingkan orang Yahudi saat tinggal di Yaman (dengan pola makan hanya mengandung lemak hewani) dan orang Yahudi Yaman di Israel (yang banyak makan margarin dan minyak nabati) menunjukkan bahwa kelompok pertama hampir tidak memiliki penyakit jantung atau diabetes, sementara kelompok kedua justru banyak mengalaminya.⁷²
Perbandingan populasi di India Utara dan Selatan menunjukkan pola yang sama:
Orang India Utara mengonsumsi lemak hewani 17 kali lebih banyak, tetapi tingkat penyakit jantung koroner mereka 7 kali lebih rendah dibanding orang India Selatan.⁷³
Suku Masai dan suku-suku lain di Afrika hidup dari susu, daging, dan darah. Mereka bebas dari penyakit jantung koroner dan kadar kolesterol darah mereka rendah.⁷⁴
Orang Eskimo mengonsumsi banyak lemak hewani dari ikan dan binatang laut. Dengan pola makan tradisional ini, mereka sangat sehat dan kuat.⁷⁵
Colin Campbell, penulis bersama The China Study, mengklaim bahwa studinya di China menunjukkan bahwa diet nabati menyebabkan lebih sedikit masalah kesehatan. Namun, penelitiannya justru menemukan bahwa orang yang tinggal di wilayah dengan konsumsi susu tinggi memiliki setengah tingkat penyakit jantung dibanding wilayah yang sedikit mengonsumsi produk hewani.⁷⁶
Beberapa masyarakat Mediterania memiliki tingkat penyakit jantung yang rendah meskipun asupan lemaknya tinggi—termasuk lemak jenuh dari daging kambing, sosis, dan keju.
Penduduk Pulau Kreta, misalnya, terkenal sehat dan berumur panjang.⁷⁷
Studi tentang orang Puerto Rico menunjukkan bahwa meskipun mereka mengonsumsi banyak lemak hewani (terutama lemak babi), tingkat kanker usus besar dan kanker payudara mereka sangat rendah.⁷⁸
Orang Georgia di Uni Soviet yang hidup lama justru adalah mereka yang paling banyak makan daging berlemak.⁷⁹
Di Okinawa, Jepang—di mana perempuan memiliki usia harapan hidup rata-rata 84 tahun—pola makan mencakup banyak daging babi dan makanan laut, dan semua dimasak dengan lemak babi.⁸⁰
Namun studi-studi seperti ini tidak pernah muncul di halaman depan New York Times.
Peneliti sering mengklaim bahwa kesehatan orang Jepang—yang memiliki usia hidup tertinggi di dunia—berasal dari diet rendah lemak. Padahal kenyataannya diet orang Jepang tidak rendah lemak; mereka makan lemak hewani dalam jumlah sedang dari telur, daging babi (misalnya dalam bentuk Spam), ayam, daging sapi, makanan laut, dan jeroan.
Yang tidak mereka konsumsi dalam jumlah besar (hingga beberapa dekade lalu) adalah minyak nabati, tepung putih, dan makanan olahan (meskipun mereka makan nasi putih).
Fakta menarik: usia hidup orang Jepang meningkat setelah Perang Dunia II seiring meningkatnya konsumsi lemak dan protein hewani.⁸¹
Para pendukung diet rendah lemak yang menunjuk data Jepang tidak menyebutkan bahwa orang Swiss juga hidup panjang—dengan salah satu diet paling tinggi lemak di dunia.
Austria dan Yunani—juga negara dengan diet tinggi lemak—menempati posisi ketiga bersama Jepang dalam hal umur panjang.⁸²
Contoh terakhir: orang Prancis.
Siapa pun yang pernah mencicipi makanan Prancis tahu bahwa pola makan mereka kaya lemak jenuh: mentega, telur, keju, krim, hati, daging, dan pâté.
Namun, tingkat penyakit jantung koroner di Prancis lebih rendah dibanding banyak negara Barat.
Di AS, lebih dari 300 dari setiap 100.000 pria paruh baya meninggal karena serangan jantung setiap tahun; di Prancis hanya 145.
Di wilayah Gascony, di mana hati angsa dan bebek adalah makanan pokok, angkanya bahkan lebih rendah: 80 per 100.000.⁸³
Fenomena ini dikenal luas sebagai “Paradox Prancis”.
Namun negara Eropa lain juga menunjukkan pola serupa: negara-negara dengan konsumsi lemak jenuh tertinggi—Prancis, Swiss, Belanda, Islandia, Belgia, Finlandia, dan Austria—justru memiliki tingkat kematian akibat jantung terendah.
Sebaliknya, negara dengan konsumsi lemak jenuh rendah memiliki tingkat CHD yang lebih tinggi.⁸⁴
**
Meski data ini jelas berlawanan dengan teori, kampanye promosi minyak nabati berhasil besar.
Tahun 1990-an, para promotor berhasil, lewat manipulasi media dan riset ilmiah, menjadikan Amerika benar-benar “berminyak”.
Konsumsi mentega mencapai titik terendah: hanya sekitar 4 gram per orang per hari (sekitar satu sendok teh), turun dari hampir 18 gram di awal abad ke-20.
Penggunaan lemak babi dan lemak sapi juga turun dua pertiga.
Konsumsi margarin melonjak dari kurang dari 2 gram per orang per hari pada 1909 menjadi sekitar 11 gram pada 1960.⁸⁵
Sejak itu, konsumsi margarin tidak banyak berubah—tetap sekitar 11 gram per orang per hari—kemungkinan karena masyarakat mulai menyadari bahaya margarin.
Namun, selama bertahun-tahun, trans fat dalam makanan orang Amerika bukan hanya dari margarin, tapi juga dari shortening yang digunakan dalam makanan gorengan dan makanan olahan.
Konsumsi shortening di AS bertahan sekitar 10 gram per orang per hari hingga tahun 1960-an.
Namun komposisi shortening telah berubah drastis: awalnya terbuat dari lemak babi, lemak sapi, dan minyak kelapa (semua lemak alami), tetapi kemudian diganti dengan minyak kedelai yang terhidrogenasi parsial.
Setelah itu, konsumsi shortening melonjak, dan pada 1990-an tripel menjadi hampir 30 gram per orang per hari.
PERUBAHAN PALING DRAMATIS pada pola makan orang Amerika adalah lonjakan besar konsumsi minyak nabati cair: dari kurang dari 2 g per orang per hari (1909) menjadi lebih dari 30 g—peningkatan 15 kali lipat! Setelah bahaya lemak trans keras (terhidrogenasi) menjadi umum, orang Amerika justru semakin banyak mengonsumsi minyak nabati cair.
**
SEKIRA AWAL 1980‑an, satu-satunya sumber lemak hewani jenuh besar di makanan cepat saji adalah tallow (lemak sapi/ domba) dalam penggorengan—digunakan McDonald’s dkk karena stabil, bisa digunakan ulang, dan menghasilkan tekstur renyah yang lezat. Namun Center for Science in the Public Interest (CSPI) segera mengubah ini.
CSPI lahir 1972; pada 1988 mereka terbitkan Saturated Fat Attack—mengutuk makanan olahan yang dibuat dengan minyak kelapa, minyak sawit, tallow, mentega, atau lemak babi. Meskipun produsen sebenarnya menggunakan minyak terhidrogenasi parsial, beberapa produk masih menggunakan kelapa, lard, atau mentega.
CSPI memimpin kampanye terhadap lemak jenuh di restoran cepat saji sejak 1984, termasuk demonstrasi di McDonald’s dan pengiriman kartu pos protes ke kantor pusat. Kampanye berhasil: restoran cepat saji dan bioskop beralih ke shortening nabati parsial terhidrogenasi sejak 1986.
**
Meskipun masalah lemak trans semakin diketahui, CSPI sempat membelanya hingga 1990-an. Dalam edaran tahun 1987 & 1988, CSPI menyebut minyak terhidrogenasi relatif aman dan lebih baik daripada alternatif. Barulah 1990, lewat Bonnie Liebman, CSPI mengakui — “Trans… Anda harus makan lebih sedikit lemak… jangan kembali ke mentega… gunakan margarin lunak.”
Pada 20 Okt 1993, CSPI memanggil konferensi pers: mereka menuduh McDonald’s, Burger King, Wendy’s, Kentucky Fried Chicken “tidak jujur” karena masih menggunakan shortening terhidrogenasi — ...sementara CSPI sebelumnya memaksa mereka menggantinya.
Menurut CSPI, industri merespon protes sejak 1984—tapi alih-alih ke minyak nabati cair, mereka memilih shortening terhidrogenasi karena “umur simpan lebih panjang”.
Des 1992, Liebman menulis: “Kami sudah lama memperingatkan bahwa asam lemak trans bisa menjadi masalah… Sekarang jelas bahaya trans sudah pasti, tapi kami tidak tahu berapa banyak trans di tiap makanan.” Anehnya, CSPI tidak meminta maaf atas kampanye sebelumnya yang membela trans fat—malah menyarankan “jangan balik ke mentega; coba margarin diet atau whipped margarine… pakai margarin cair.”
**
Kampanye CSPI sangat berhasil—mereka menghilangkan hampir semua lemak tradisional dari pasokan makanan. Yang digantikan? Lemak trans di awal, lalu minyak nabati cair yang rancid (teroksidasi). Bahkan minyak sehat kelapa di popcorn bioskop pun lenyap atas desakan CSPI—sekarang label produk bangga menyatakan “no tropical oils”.
Siapa yang diuntungkan? Industri minyak kedelai—80 % minyak olahan & 70 % minyak botolan berasal dari kedelai. CSPI menyatakan mendapat dana dari pelanggan majalah Nutrition Action, meskipun juga disebutkan bahwa “American Soybean Association” mendukung usaha CSPI sejak 1991.
**
Setelah lemak jenuh menjadi musuh utama, penyakit modern lainnya juga dihubungkan dengannya—stroke, Alzheimer, kanker, diabetes, obesitas—walau bukti ilmiahnya bahkan lebih lemah dibanding klaim awal untuk penyakit jantung.
**
Pada 30 April 1996, peneliti senior David Kritchevsky menerima penghargaan AOCS atas penelitian soal kanker, aterosklerosis, dan metabolisme kolesterol—publikasi “Position paper on trans fatty acids” muncul di American Journal of Clinical Nutrition. Kritchevsky kembali menegaskan:
Minyak nabati (terutama yang terhidrogenasi parsial) buruk untuk kesehatan.
Namun, ia sendiri tidak mengutuk trans fat secara tegas—menyebut data tidak cukup untuk pelabelan fiskal.
Meski dia menyarankan lebih baik konsumsi minyak nabati cair daripada lemak padat, dan “kurangi total lemak dalam diet,” dia mengakui kenyataan bahwa intervensi sebelumnya tidak mengurangi mortalitas CHD.
**
Perjalanan hingga hari ini menunjukkan: meski bukti ilmiah banyak menyangkal teori “diet‑jantung” dan “hipotesis lipid,” industri dan lembaga medis tetap mempertahankan narasi bahwa kolesterol & lemak jenuh—terutama dari hewan—adalah musuh utama.
Lemak trans kini sudah hilang, tapi minyak nabati cair (yang bisa lebih berbahaya—teroksidasi) tetap dominan, digunakan dalam makanan goreng, olahan, dan produk “sehat”.
**
Banyak apa yang diyakini orang Amerika soal nutrisi berasal dari majalah populer—yang mayoritas juga mendapat iklan dari industri pangan. Lembaga seperti American Council on Science and Health menilai media besar sebagai “sumber nasihat gizi yang baik”—meski semua tetap mengikuti dogma konvensional bahwa lemak jenuh buruk, tanpa kritik.
Majalah dan situs seperti EatingWell merekomendasikan makanan bebas lemak—walau pola makan ini seringkali membuat orang merasa kaku, haus, ketergantungan pada roti gandum, yoghurt tanpa lemak, tahu, sayur, dan bahkan makanan cepat saji nabati.
Professor Alice Lichtenstein (Tufts University) mendukung produk rendah lemak yang diproses—lebih baik ketimbang mentega dalam keju & daging—menjadikan minyak nabati olahan sebagai hal biasa.
**
Contoh nyata: percobaan staf San Francisco Chronicle mengikuti pedoman diet AS selama 14 hari—hasilnya mereka merasa “terkungkung” dan kehilangan kenikmatan makan. Salah satu berkata: “Saya kangen nikmatnya makan makanan enak tanpa mikir minyak apa yang digunakan… kalau harus korbankan usia untuk itu, saya rela—tapi tolong beritahu saya berapa umurnya akan berkurang.”
**
Lebih ekstrem: pada 2008 Yale buat sistem ONQI—brokoli & sayuran mendapat skor tinggi, susu tanpa lemak juga tinggi, tapi mentega, jeroan, telur goreng, bacon, salami mendapat skor rendah.
Sistem ini pun menyarankan keadaan “nutrisi tanpa melihat rasa”—yang sangat tidak realistis.
**
Kulkas 1918 penuh makanan nyata: susu mentah, telur, lemak babi, krim, mentega, daging segar…
Kulkas sekarang? Susu rendah lemak, margarin, krimer, minuman olahraga, yogurt flavored, saus tomat warna-warni, keripik, es krim beku…
Fakta: konsumsi susu utuh turun dari 41 galon/tahun (1945) ke hanya 8 galon. Konsumsi susu rendah lemak naik dari 4 gall/tahun (1945) ke 15 gallon (2001).
Minuman manis mendominasi—dengan ~51% cairan anak-anak AS berasal dari minuman manis—yang menjadi faktor obesitas.
**
Namun belakangan: ada tren menaiknya konsumsi mentega di AS dan Eropa—menyebabkan protes “anti-lemak jenuh” kembali aktif. Misalnya, kampanye UK di 2009 menghabiskan £3 juta untuk iklan TV 40 detik “tuang lemak jenuh ke wastafel” dan ajakan kurangi lemak daging serta pilih minyak daripada mentega. Demikian juga di New Zealand, muncul seruan “kurangi bacon & roti manis” dan bahkan usulan pajak mentega.
**
Dampak: tekanan gizi flip-flop antara diet ultra‑rendah lemak (tanpa rasa) dan makanan olahan penuh minyak & gula—mengakibatkan orang bolak-balik antara malu makan “bersih” dan binge food.
Solusinya? Kembali ke makanan nyata yang mengandung nutrisi lengkap—termasuk lemak hewani jenuh: mentega, kuning telur, krim, susu, keju, pâté, daging berlemak, ayam bersayap.
**
Ahli mengatakan lemak jenuh buruk karena menaikkan kolesterol. Tapi kaum ahli menyebut kolesterol orang Amerika “terlalu tinggi” apa pun yang mereka makan—membuka jalan untuk obat statin mahal.
Sebuah artikel 2015 di Expert Reviews in Clinical Pharmacology menyoroti trik statistik promosi statin—metode relative risk reduction membesar-besarkan efek kecil. Mereka juga menyoroti efek samping seperti kanker, katarak, diabetes, gangguan otot, dll.
Analisis terhadap 33 uji klinis statin (2015) menunjukkan hanya 0.61% peningkatan keselamatan dalam kelompok kesehatan—kesimpulannya, statin “tidak memperpanjang hidup” dan bisa menimbulkan efek samping serius.
Meski begitu, kini banyak diagnosa statin untuk orang dengan kolesterol normal—terutama karena statin menurunkan CRP (penanda inflamasi), didorong oleh studi seperti JUPITER.
Fakta: penurunan kematian dalam JUPITER hanya 0.25%, dan studi dihentikan sebelum waktunya karena perbedaan kecil antara groups. AstraZeneca (produsen Crestor) sahamnya naik 45% setelah laporan.
Studi UCLA menunjukkan setengah pasien jantung memiliki LDL normal, lalu coba turunkan LDL lebih rendah—menyebabkan lebih banyak orang jadi “berisiko” dan diberi statin.
serta studi PNAS menyebut statin bisa menurunkan fungsi otak dan meningkatkan risiko kanker prostat.
**
Ringkasan: ilmuwan yang mendukung hipotesis lipid terus merespon data berlawanan dengan kreativitas—seperti menyalahkan statin atas Paradoks Prancis: Francia dulu rendah lemak selama dekade awal 1900-an, baru naik tahun 1970-an—sementara umur panjang diduga karena statin.
Faktanya, konsumsi lemak jenuh Prancis masih tertinggi di Eropa—namun kanker dan CHD mereka paling rendah. Narasi “aman dengan statin meski banyak makan keju & croissant” muncul dari akademisi dogmatis.
Kini, dokter AS menulis >250 juta resep statin per tahun—meski efek sampingnya panjang: kehilangan ingatan, demensia, Parkinson, lemah otot, gagal jantung, impotensi, lelah, hingga diabetes.
Contoh: studi Women's Health Initiative (Archives IM) menunjukkan peningkatan diabetes hampir 50% pada pengguna statin jangka panjang. Studi JAMA 2011 & Lancet 2010 juga temukan peningkatan diabetes.
Bahkan cardiologist Steven Nissen menyatakan “sangat yakin statin sedikit meningkatkan risiko diabetes”.
**
Seperti Upton Sinclair katakan: “Sulit membuat seseorang memahami sesuatu bila gajinya tergantung pada ketidakpahamannya.”
**
Pesan terakhir: lemak jenuh dan kolesterol bukan penjahat diet—keduanya adalah bagian penting dari nutrisi manusia.
0 komentar:
Posting Komentar